TIMES JABAR, BANDUNG – Suasana mal tetap ramai, tawa, obrolan, dan langkah kaki memadati koridor ber-AC. Tapi ada yang berbeda. Di balik keriangan fenomena "rojali" (rombongan jarang beli) dan "rohana" (rombongan hanya nanya) yang memenuhi pusat perbelanjaan, tersembunyi cerita yang lebih dalam: desahan daya beli yang sedang mengencangkan ikat pinggang.
Fenomena ini bukan sekadar gaya hidup nongkrong kekinian, melainkan cermin retak ketidakpastian ekonomi yang memaksa keluarga Indonesia lebih cermat memilah setiap rupiah.
Datang Urung Membeli
Data BPS mengonfirmasi perlambatan ini, pada triwulan pertama tahun 2025 konsumsi rumah tangga hanya tumbuh sebesar 4,89% (y-on-y), dibandingkan triwulan IV 2024 sebesar 4,98% (y-on-y), meski masih jadi penopang utama perekonomian dengan kontribusi sebesar 54,53% terhadap PDB, namun tumbuh semakin pelan, masyarakat secara perlahan beralih dari belanja impulsif menjadi selektif.
Ini bukan soal keengganan, tapi prioritas yang bergeser tajam: kebutuhan pokok di atas keinginan sekunder. Bahkan deflasi pada Mei 2025 sebesar 0,37% (m-to-m), bukan semata kabar baik; ia juga bisikan lemahnya permintaan, tanda bahwa uang di dompet enggan keluar. Ketika konsumsi berkurang, permintaan terhadap barang dan jasa melambat mendorong deflasi.
Kelas menengah, tulang punggung konsumsi, kini lebih sering jadi "pengamat". Window shopping, bertanya harga, atau sekadar menghabiskan waktu di kafe mal menjadi pemandangan biasa. Fenomena rojali dan rohana bukan sekedar tren sosial atau gaya hidup, namun mereka mencerminkan tekanan ekonomi yang nyata.
Mereka datang, merasakan atmosfer, tapi urung membeli. Ini bukan kemalasan, melainkan kewaspadaan. Ketidakpastian memupuk perilaku rasional: proteksi tabungan jadi tameng, sementara gengsi konsumsi ditanggalkan.
Daya Dorong Kantong Rakyat
Dampaknya terasa di ritel. Mal ramai pengunjung, tapi tenant menanggung minimnya transaksi. Lalu, bagaimana memecahkan teka-teki ramai tanpa pembelian ini?
Dukungan nyata untuk mengisi kembali "daya dorong" kantong masyarakat. Pemerintah bisa jadi pendorong utama. Bukan dengan jargon, tapi aksi riil: bantuan tepat sasaran untuk biaya pokok dan energi yang mencekik, percepatan proyek padat karya yang menggeliatkan pendapatan, dan program belanja publik yang memutar roda ekonomi lokal.
Mal dan ritel harus berubah: dari "toko besar" jadi "panggung pengalaman". Era sekadar memajang barang usai. Pengunjung rojali-rohana datang untuk value lebih.
Saatnya mal berbenah: menghadirkan acara komunitas yang hangat (workshop, pameran UMKM, pentas seni lokal), promo interaktif yang memicu keterlibatan (bukan sekadar diskon), dan kolaborasi dengan pelaku UMKM sekitar tak hanya memperkaya ragam produk, tapi juga menciptakan cerita dan kebanggaan lokal yang menarik minat beli.
Akses pendanaan yang mudah dan manusiawi bagi UMKM juga menjadi kunci. Ketika usaha kecil di sekitar mal atau kawasan perumahan tumbuh, terciptalah siklus ekonomi lokal.
Uang berputar di dalam komunitas, pendapatan bertambah, dan pada akhirnya, daya beli perlahan pulih. Bayangkan jika tenant mal tak hanya brand besar, tapi juga kurator produk-produk unggulan pengrajin sekitar.
Rojali-Rohana Bukan Akhir Cerita
Intinya, rojali-rohana adalah cermin respons cerdas masyarakat. Mereka tak berhenti datang ke mal karena mal tetap menjadi ruang sosial, namun sikap konsumsinya berubah: lebih selektif, lebih hemat, dan lebih sadar akan masa depan.
Ini bukan tren yang akan hilang sendirinya. Jika kebijakan tak menyentuh rasa sakit di dompet rakyat, jika ritel tak berinovasi menciptakan magnet baru, maka fenomena ramai tanpa transaksi akan menjadi "normal" yang memilukan.
Membangkitkan daya beli bukan sekadar mengejar angka pertumbuhan. Ini tentang memulihkan kepercayaan dan menciptakan bantalan keamanan bagi jutaan keluarga.
Saatnya semua pihak bergandengan tangan: pemerintah dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat, pelaku usaha dengan kreativitas tanpa batas, dan masyarakat dengan dukungan pada produk lokal.
Hanya dengan demikian, keramaian di mal tak lagi sekadar jadi tontonan, tapi kembali menjadi denyut perekonomian yang hidup dan memberi arti. Rojali-rohana bisa jadi awal transformasi, jika kita mau mendengarkan cerita di balik keramaian itu.
***
*) Oleh : Rr. Vincie Apriany, SST., Statistisi Madya BPS Kabupaten Bandung.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |