TIMES JABAR, JAKARTA – Beberapa hari terakhir, kembali ramai mengenai Bahan Bakar Minyak (BBM) Non Subsidi yang melanda Stasiun Bahan Bakar Umum atau SPBU Swasta seperti Shell, Vivo, dan BP-AKR. Di mana semua lokasi pengisian sudah tidak ada lagi antrean yang diakibatkan habisnya stok mereka.
Ini bukan sekadar masalah logistik atau kegagalan bisnis semata namun menjadi alarm keras mengenai ketidakseimbangan struktural di sektor hilir migas nasional dan bagaimana kebijakan negara secara instrumental cenderung melupakan rakyat namun hanya memperkuat satu pihak.
Karl Marx dengan teori konfliknya melihat krisis ini sebagai penguatan kapital dominan dalam hal ini BUMN melalui intervensi regulasi yang secara sistematis menekan kapital marjinal.
Sektor BBM non subsidi yang seharusnya menjadi ajang persaingan bebas yang mendorong efisiensi dan inovasi, kini menjadi ring tinju hegemoni yang merugikan konsumen dalam hal ini rakyat juga merugikan iklim investasi.
Intervensi Regulasi dan Disparitas Kuota
Data dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menunjukkan adanya perbedaan kuota impor BBM non subsidi yang cukup ekstrem. Saat operator mendapatkan kuota antara 7 ribu hingga 44 ribu kiloliter, Pertamina Patra Niaga justru diberikan hingga 613.000 KL.
Intervensi regulasi ini secara otomatis memperlihatkan atau saya menyebutnya menciptakan kelangkaan buatan di sisi swasta. Pemerintah, dengan dalih menjaga neraca energi dan stabilitas pasokan, malah membatasi ruang gerak kompetitor asing.
Dalam perspektif Neo-Marxis yang diuraikan oleh Nicos Poulantzas dalam Political Power and Social Classes (1968), menjelaskan bahwa negara bukanlah entitas netral melainkan “hubungan kelas yang terkondensasi.”
Artinya regulasi yang cenderung memprioritaskan kapitalis dominan (dalam hal ini BUMN) dengan alasan menjaga kohesi struktural sistem kapitalis. Keputusan membatasi impor swasta dan mendorong pembelian dari pertamina adalah mekanisme instrumental negara untuk menjaga profitabilitas dan stabilitas BUMN.
Meskipun harus mengorbankan prinsip persaingan pasar yang sehat. Ini adalah praktik kapitalisme negara yang cenderung menguntungkan raksasa dan tidak berpihak kepada rakyat.
Kondisi di atas membuat hambatan masuk yang pasif. Ketika operator swasta dipaksa bermain di pasar yang aturannya dapat diubah kapanpun, bukan berdasarkan mekanisme pasar yang wajar melainkan demi kepentingan tunggal suatu entitas.
Saya menilai, dampak ekonomi dari hal di atas adalah inefisiensi terstruktur, tanpa ada tekanan kompetensi dari pesaing yang tangguh, Pertamina cenderung lambat dalam berinovasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan serta menjaga kualitas BBM karena pasar telah dijamin oleh regulasi yang memihak.
Kualitas Arena Perlawanan
Saya melihat, klimaks dari konflik kekuasaan di atas, ketika SPBU Swasta membatalkan membeli base fuel atau bahan bakar dasar dari Pertamina. Alasannya jelas dan singkat karena BBM dasar impor Pertamina mengandung Etanol sebesar 3,5% yang tentunya tidak sesuai dengan spesifikasi teknis dan aditif produk SPBU Swasta.
Meski regulasi menyebut penambahan etanol diperbolehkan hingga maksimal 20%, saya menilai penolakan ini sebagai bagian dari perlawanan kapital swasta. Karena bagi Swasta kualitas produk adalah satu-satunya cara untuk bersaing dengan Pertamina yang memiliki privilage distribusi dan harga.
Merek seperti Shell dan Vivo sudah melakukan investasi besar-besaran untuk membangun citra kualitas dan kepercayaan melalui aditif khusus. Jika mereka menerima base fuel yang mengandung etanol, secara sadar mereka menyerahkan kualitas produk kepada pesaing dan akan menghilangkan keunggulan kompetitif mereka.
Penolakan di atas dapat dilihat menggunakan pandangan Gramsci dengan Konsepnya Hegemoni Ideologis. Narasi “Ketahanan Energi Nasional” diangkat sebagai prioritas utama, sehingga setiap kebijakan yang mengarah pada penguatan Pertamina dianggap wajar dan perlu.
Ideologi ini menutupi fakta bahwa dampaknya adalah distorsi pasar dan hilangnya pilihan bagi konsumen atau rakyat. Negara menilai jika Swasta dibiarkan melakukan impor akan mengancam kepentingan nasional, padahal yang terancam adalah dominasi pasar Pertamina. Kualitas etanol menjadi semacam batu sandungan teknis yang memvalidasi perlawanan swasta terhadap hegemoni tersebut.
Potensi Dampak Sosial
Saya menilai jika situasi ini dibiarkan, dampaknya meluas melampaui kerugian bisnis swasta dan merambah ke dimensi sosial. Pertama, Ketidakpastian pasokan dan intervensi regulasi yang timpang akan membuat operator swasta besar berpikir ulang untuk berekspansi.
Jika perusahaan sekelas Shell atau BP-AKR, yang merupakan raksasa energi global, terus menghadapi hambatan struktural ini, mereka mungkin akan memilih untuk hengkang (capital flight).
Ini akan mengirimkan sinyal negatif yang sangat kuat kepada calon investor asing lain bahwa pasar Indonesia tidak menjamin level playing field yang adil. Dampak buruk terhadap citra investasi ini bisa berlangsung lama.
Kedua, dengan berkurangnya kompetisi yang signifikan, konsumen dipaksa bergantung pada satu operator dominan. Minimnya tekanan dari kompetitor akan mengurangi dorongan inovasi dan peningkatan kualitas layanan Pertamina.
Konsumen kehilangan alternatif produk yang lebih baik, terutama bagi mereka yang mencari BBM berkualitas premium untuk kendaraan modern. KPPU telah memperingatkan bahwa hilangnya pilihan bagi konsumen adalah kerugian terbesar dari distorsi pasar ini.
Ketiga, Kelangkaan pasokan yang berujung pada penutupan SPBU, meskipun sementara, telah menyebabkan operator swasta harus merumahkan atau melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawannya.
Ini bukan hanya masalah korporasi, melainkan tragedi sosial kecil di tingkat akar rumput. Ratusan, bahkan ribuan, pekerja yang bergantung pada sektor ini menjadi korban langsung dari konflik struktural antara modal negara dan modal swasta.
Menegakkan Persaingan Sehat
Pemerintah perlu mengambil langkah korektif yang fundamental, bukan sekadar solusi tambal sulam. Komitmen untuk menjaga "Ketahanan Energi Nasional" tidak boleh dipertukarkan dengan kesehatan persaingan usaha.
Solusi jangka panjangnya adalah tinjau ulang secara transparan kebijakan pembatasan kuota impor. Jika alasannya adalah neraca perdagangan, pemerintah harus mencari mekanisme lain yang tidak secara langsung menguntungkan satu BUMN di atas yang lain.
Berikutnya negara harus memastikan base fuel yang ditawarkan Pertamina sebagai pemasok darurat memenuhi standar netral yang dapat diterima oleh semua operator, atau memberikan keleluasaan kepada swasta untuk mengimpor sesuai dengan spesifikasi produk mereka. Kualitas harus menjadi pilihan konsumen, bukan alat monopoli.
Berikan dukungan penuh dan kekuasaan yang lebih besar kepada KPPU untuk menindak praktik yang mengarah pada monopoli, terlepas dari apakah pelakunya adalah swasta atau BUMN.
Hanya dengan menegakkan arena bermain yang setara (level playing field) dan memisahkan kepentingan bisnis Pertamina dari fungsi regulasi negara, konsumen dapat benar-benar diuntungkan. Indonesia membutuhkan persaingan BBM yang sehat, bukan hanya stabilitas yang dibayar mahal dengan stagnasi dan dominasi.
***
*) Oleh : Fathin Robbani Sukmana, Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |