TIMES JABAR, PADANG – Media sosial baik di dunia maupun di Indonesia sekarang tengah mengalami pertukaran informasi yang sangat cepat, tetapi juga disruptif.
Berbagai kasus viral yang selalu berlalu-lalang di media sosial tidak hanya dijadikan sebagai alat pertukaran informasi, melainkan juga pertukaran politik kepentingan baik dari populis maupun politik praktis. Lebih jauh lagi, pertukaran informasi juga bisa hilang dan timbul berdasarkan kekuatan atensi media sehingga banyak informasi yang bisa tenggelam oleh informasi lainnya.
Akhir-akhir ini kita bisa mengambil satu contoh masyarakat informasi dihebohkan dengan salah satu konten kreator yang berasal dari Provinsi Lampung yang tengah menempuh studi S1 di Macquarie University, Australia, bernama Bima. Bima melalui kekuatan masyarakat informasi pada akun media sosialnya menyampaikan kritik dengan menggunakan hak citizenship-nya. Salah satu sorotan terbesar atas kritik yang disampaikan Bima adalah mangkraknya pembangunan infrastruktur pada sejumlah kabupaten yang ada di Provinsi Lampung. Masyarakat informasi menaruh atensi yang sangat besar sehingga video tersebut sudah diputar sebanyak lebih dari 12 juta kali per 16 April 2023 melalui akun Tiktok-nya.
Informasi tersebut telah menarik perhatian seluruh pengguna media sosial sehingga sejumlah orang berpengaruh juga ikut membuka suara, termasuk Aparat Penegah Hukum (APH) dari Lampung sendiri. Konten tersebut juga menimbulkan efek domino dengan bergeraknya berbagai kalangan masyarakat yang turut memperlihatkan kondisi jalan di berbagai wilayah di Lampung yang rusak parah, padahal Gubernur Lampung mendapat penghargaan realisasi belanja anggaran melalui APBD Award.
Alih-alih berkemas dengan pembangunan yang tidak kunjung rampung, respon yang diterima Bima menjurus kepada tindakan persekusi yang diterimanya sehingga harus meminta visa perlindungan ke Australia. Orang tua Bima yang masih menetap di Lampung juga turut harus tereskspos di media sosial terkait dengan perwujudan sebagai masyarakat yang demokratis yang telah dilakukan oleh anaknya. Realitas yang tengah hangat dibicarakan masyarakat informasi ini rasanya perlu dibahas menggunakan perspektif information society atau yang dikenal dengan masyarakat informasi serta bagaimana dampaknya bagi struktur sosial masyarakat.
Dewasa ini, semakin banyak ruang sosiokultural digital yang dirayakan oleh masyarakat tidak hanya memberikan manfaat seperti mendistribusikan informasi. Ruang sosiokultural digital juga melahirkan distraksi sehingga dirayakan berlebihan. Menurut Levy (1999), masyarakat informasi adalah jebakan. Ruang digital dimaknai menjadi dua sisi. Ia akan menjadi ruang yang menganggu, tetapi tidak bisa diartikan sebagai sebuah gangguan, karena di dalamnya juga mewujudkan sebuah gerakan yang bisa mengumpulam populis dalam gerak digital.
Arus dari ruang ini diduga memiliki kekuatan untuk mengelak dari arus komunikasi yang dominan sehingga akan mengarah kepada arus komunikasi yang dominan. Hal ini juga akan berakibat kepada terjadinya penumbangan kepada makna yang disukai dan menantang kekuatan yang ada. Klaim tentang karakter dan pentingnya kekuatan ini berada di tengah perdebatan yang sedang berlangsung mengenai efek budaya digital pada sifat hegemoni dan perlawanan di bidang ekonomi, politik, dan budaya.
Informasi yang berselancar di berbagai media sosial kita telah tumbuh menjadi dua hal yang sangat mengubah perilaku masyarakat informasi. Pertama, komentator di ruang sosiokultural digital memberi kita gambaran bergantian tentang adanya slacktivisme atau yakni fenomena orang telah merasa melakukan sesuatu ketika click and share terkait satu informasi tanpa melakukan tindakan nyata. Kedua, adanya filter bubble di mana media sosial hanya menampilkan informasi tertentu sesuai dengan algoritma yang tertentu. Misalnya, kita kerap men-klik tombol "suka" atau terhadap suatu barang seperti sepatu maupun tas, sosial media kita akan melakukan automasi untuk memunculkan iklan sesuai dengan apapun yang kita sukai.
Memang, sebagian besar strategi media digital baik yang dilakukan oleh kapitalis maupun elit politik adalah living paradoxes rooted in a messy praxis atau hidup melalui paradoks yang berakar dari praktik-praktik yang kacau. Masyarakat informasi akan memunculkan pragmatisme radikal yang membutuhkan kewaspadaan untuk mengartikulasikan jaring dengan materialitas karena disinilah letak kemungkinan politik yang mengakui tertanamnya praktik sosial.
Keterlibatan Bima sebagai seorang konten kreator maupun warga negara juga tidak luput dari adanya kumpulan massa yang terhubung melalui akumulasi media sosial yang digunakan, baik informasi secara primer maupun sekunder. Eskplorasi ruang online yang digunakan Bima bisa menjadi batu loncatan untuk pergerakan demokratisasi di Indonesia era baru. Gerakan sosial seperti ini adalah sebuah gerakan kekinian yang lebih cepat menyita perhatian publik dibandingkan dengan gerakan konvensional seperti demonstrasi di ruang publik. Sayangnya, media sosial adalah sebuah fatamorgana yang bisa dengan mudah beralih dan teralihkan oleh isu lain sesuai dengan sentimen yang akan dirasakan oleh warganet sebagai bahan bakar utamanya.
Apa yang bisa kita simpulkan dari konten Bima yang tengah viral tersebut adalah ruang digital secara khusus berkontribusi untuk melakukan disrupsi yang berhubungan antara kemungkinan dan praksis. Upaya demokratisasi masyarakat yang dilakukan oleh Bima seyogyanya tidak hanya hilang melalui slacktivisme dan filter bubble semata. Ruang berekspresi di media sosial, apalagi yang berfokus untuk menyorot kesejahteraan masyarakat sebagai puncak tertinggi kekuasaan pada negara demokrasi tidak boleh cepat lenyap serta digantikan dengan alat pertukaran informasi lainnya terkhusus untuk tujuan negosiasi ekonomi politik.
***
*) Oleh: Indah Sari Rahmaini, Dosen Sosiologi Universitas Andalas.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Ronny Wicaksono |