TIMES JABAR, BANDUNG – Di tengah pesatnya transformasi digital masyarakat Jawa Barat, tantangan baru mulai mengemuka: bagaimana memastikan warganya mampu memanfaatkan layanan keuangan modern tanpa terperosok ke dalam jeratan penipuan digital dan pinjaman daring ilegal. Otoritas Jasa Keuangan Provinsi Jawa Barat (OJK Jabar) menegaskan, literasi keuangan digital bukan lagi sekadar keterampilan tambahan, tetapi fondasi ketahanan finansial masyarakat di era ekonomi berbasis teknologi.
Data OJK menunjukkan, tingkat literasi keuangan Jawa Barat mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun, mencapai 66,46% pada 2025, sementara inklusi keuangan telah berada di angka 80,51%.
Angka tersebut menggambarkan semakin banyak masyarakat yang mengakses produk dan layanan keuangan, namun belum seluruhnya memahami risiko dan mekanisme penggunaan yang aman. “Kenaikan angka inklusi tanpa diikuti literasi digital yang memadai justru membuka ruang kerentanan baru,” tegas Kepala OJK Jabar, Darwisman, dalam paparannya, Jumat (05/12/2025).
Dalam pemaparan materi literasi digital, Darwisman menekankan bahwa masyarakat kini harus memahami cara kerja layanan digital seperti mobile banking, dompet elektronik, investasi digital, hingga keamanan data pribadi. Akses layanan keuangan memang semakin mudah, tetapi modus kejahatan digital berkembang lebih cepat.
Salah satu ancaman terbesar adalah peningkatan kasus penipuan berbasis impersonation, yaitu penggunaan identitas palsu yang menyerupai institusi resmi. Ada pula maraknya fake SMS masking, penyebaran pesan palsu melalui BTS ilegal yang mengatasnamakan bank atau lembaga keuangan. Bahkan, OJK mencatat tren baru berupa pemalsuan bukti transfer menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI), yang membuat banyak korban yakin menerima transfer padahal tidak ada dana yang masuk.
“Literasi digital bukan hanya tahu cara menggunakan aplikasi, tetapi juga mampu mengenali red flags penipuan,” ujarnya.
Salah satu isu yang terus menjadi sorotan OJK Jabar adalah menjamurnya pinjaman daring ilegal. Meskipun OJK mencatat 95 penyelenggara fintech lending legal hingga November 2025, jumlah pinjol ilegal yang muncul jauh lebih masif dan agresif. Perbedaan legal dan ilegal terlihat jelas dari struktur operasionalnya yakni pinjol legal diawasi OJK, bunga harian dibatasi 0,3% untuk konsumtif dan 0,1% untuk produktif. Sementara, pinjol ilegal menetapkan bunga tidak terbatas, tanpa mekanisme verifikasi, serta mengakses seluruh data ponsel pengguna. Selain itu, penagihan legal wajib menggunakan tenaga bersertifikat AFPI, sementara pinjol ilegal kerap menggunakan ancaman, teror, hingga penyebaran data pribadi.
Kepala OJK Jabar juga memaparkan bahwa ketika peminjam gagal bayar lebih dari 90 hari, penyelenggara legal akan melaporkannya ke Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). Karena itu, OJK kembali mengingatkan bahwa rekam jejak keuangan yang buruk akan tercatat dan berdampak jangka panjang.
Perang Terbuka Melawan Kejahatan Keuangan
Sebagai bentuk intervensi nyata, OJK bersama Satgas PASTI meluncurkan Indonesia Anti-Scam Center (IASC) sebagai pusat koordinasi pemberantasan scam digital. Hingga Oktober 2025, OJK telah memblokir 27.395 rekening terkait aktivitas judi online—salah satu penyokong utama arus uang ilegal.
Selain itu, masyarakat juga diminta memanfaatkan saluran resmi seperti Kontak OJK 157, situs pengecekan legalitas fintech (bit.ly/fintech-ojk), serta laman pengaduan keuangan ilegal.
Pesan utama Kepala OJK Jabar jelas: di tengah derasnya arus digital, masyarakat membutuhkan kemampuan baru untuk bertahan. Edukasi mengenai prinsip pengelolaan keuangan 20/30/50, pentingnya “menyisihkan bukan menyisakan,” pencatatan pengeluaran, serta disiplin menghindari utang konsumtif, menjadi pondasi agar masyarakat tidak goyah.
“Digitalisasi harus diimbangi kewaspadaan. Kita ingin masyarakat Jabar tidak hanya inklusif secara finansial, tetapi juga tangguh menghadapi risiko,” papar Darwisman. (*)
| Pewarta | : Djarot Mediandoko |
| Editor | : Faizal R Arief |