TIMES JABAR, BANDUNG – Dunia kuliner kini tak lagi sekadar bicara rasa. Di balik setiap hidangan yang tersaji, ada tanggung jawab besar untuk memastikan keamanan pangan, kualitas gizi, dan profesionalisme para pelaku di dapur. Hal itu disampaikan oleh Chef Eddy Santoso, asesor sekaligus praktisi berpengalaman di bidang food and beverage (F&B) selama hampir dua dekade.

Chef Eddy, yang kini menjabat sebagai pemateri dan asesor di bidang kuliner sekaligus Ketua Harian ICA (Indonesia Chef Association) Banten, menegaskan bahwa pelatihan dan sertifikasi bukan hanya kebutuhan formalitas, melainkan bagian penting dalam membangun kepercayaan diri dan kompetensi tenaga kerja kuliner.

“Sertifikasi itu ibarat SIM bagi seorang pengemudi. Dengan sertifikat, seseorang diakui negara bahwa dia kompeten. Itu bukan sekadar kertas, tapi bukti bahwa ia punya keahlian yang bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya saat menjadi pemateri di Sertifikasi Chef bersama Koperasi Aksi Sejahtera Mandiri (ASMI), di Cafe Skytree Selasa (04/11/2025). 

Dalam sesi pelatihan yang diisi, Chef Eddy mengungkapkan bahwa banyak peserta berasal dari latar belakang beragam — dari juru masak hotel hingga pengusaha katering kecil. Namun, mereka memiliki semangat yang sama: ingin naik level dan memahami standar kerja profesional di industri kuliner.

“Banyak yang sudah bisa memasak, tapi secara knowledge masih otodidak. Pelatihan seperti ini membuka wawasan mereka, membentuk habit baru yang lebih terukur dan profesional,” katanya.

Menurutnya, pelatihan dan sertifikasi memiliki peran penting dalam menjawab tantangan program pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG). Untuk mencapai tujuan menciptakan generasi emas, kualitas makanan yang disajikan harus memenuhi standar keamanan dan gizi yang tepat.

“Tujuan akhirnya adalah food safety. Jadi teman-teman di bidang kuliner harus paham prosesnya — dari penanganan bahan, pengolahan, hingga penyajian. Minimal mereka tahu titik-titik kritis atau critical control point dalam pengolahan makanan,” jelasnya.

Chef Eddy menegaskan bahwa setiap pelaku kuliner harus memiliki fondasi kuat dalam standar keamanan pangan (food safety) sebelum mengembangkan kreativitas di dapur. Sebab, kesalahan sekecil apa pun dalam pengolahan makanan bisa berakibat fatal bagi kesehatan konsumen.

Lebih jauh, ia menyoroti rendahnya kesadaran sebagian pekerja kuliner terhadap pentingnya pelatihan formal. Padahal, menurutnya, pelatihan bukan sekadar menambah ilmu, tetapi juga menumbuhkan rasa memiliki terhadap profesi.

“Ketika mereka paham, awareness-nya meningkat. Mereka jadi lebih peduli dan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi. Tapi kalau tidak paham, mereka cenderung cuek. Itulah mengapa pelatihan seperti ini sangat penting,” tuturnya.

Chef Eddy yang juga aktif di HIPMI Kulineri, menekankan pentingnya kontinuitas pembinaan. Pelatihan, katanya, bukan proyek sesaat, melainkan investasi jangka panjang dalam membangun tenaga kerja kuliner yang profesional dan beretika.

“Pelatihan harus terus dilakukan. Sertifikasi hanya pendukung. Yang utama adalah BIMTEK—bimbingan materi yang menanamkan ilmu dan sikap kerja. Dari sana lahir kualitas yang sesungguhnya,” pungkasnya.

Dengan pengalaman hampir 20 tahun di dunia F&B, Chef Eddy berharap semakin banyak pelaku usaha kuliner dan tenaga kerja muda yang menyadari pentingnya sertifikasi dan pembinaan berkelanjutan. Karena pada akhirnya, profesionalisme di dapur bukan hanya tentang kemampuan mengolah rasa, tapi juga tentang tanggung jawab menjaga kualitas hidup masyarakat melalui makanan yang aman, bergizi, dan bermartabat. (*)