TIMES JABAR, TASIKMALAYA – Suasana ramai terlihat di sebuah rumah makan khas Sunda yang berada di Jalan Otto Iskandardinata, Kota Tasikmalaya. Di depan meja kasir, antrean pengunjung mengular, sementara sang kasir dengan teliti melayani pembayaran satu per satu.
Rumah makan yang dikenal dengan nama Warung Sangu Alun-alun Tasik ini memang menjadi salah satu destinasi kuliner favorit masyarakat, terutama saat akhir pekan.
Namun, di balik hiruk-pikuk rumah makan tersebut, terselip pemandangan berbeda yang menarik perhatian. Seorang remaja putri dengan sigap mengangkat piring dan gelas dari meja pengunjung.
Ia membersihkan meja menggunakan lap, lalu membawa peralatan makan ke tempat cuci. Setelah itu, ia berjalan menuju sebuah ruangan kecil tidak jauh dari ruang makan. Di sana, ia bersama temannya yang mengenakan rompi serupa mengambil baskom berisi sambal, kemudian menuangkan ke dalam plastik dengan penuh ketelitian.
Aisyah penyandang disabilitas rungu saat berkomunikasi dengan salah satu pramusaji dengan menggunakan bahasa isyarat di Warung Sangu Alun-alun Tasik, Sabtu (13/9/2025) (FOTO: Harniwan Obech/TIMES Indonesia)
Rompi yang mereka kenakan bertuliskan “Teman Tuli”. Salah satunya adalah Aisyah, penyandang disabilitas rungu yang sedang mengikuti program job training.
Ketika ditemui oleh TIMES Indonesia, dua pramusaji rumah makan tersebut, Annisa Putri Agustin (18), warga Lewosari, Bantar, Kota Tasikmalaya, alumni SMK Artanita 2024, dan Rizky (23), warga Kampung Gobras, Kawalu, Tasikmalaya, mengungkapkan bahwa saat ini ada dua penyandang disabilitas yang sedang menjalani program magang di sana.
“Ya, itu adalah penyandang difabel yang sedang magang,” ungkap Annisa atau yang akrab disapa Ica, Sabtu (13/9/2025).
Sementara itu, Rizky mengaku mendapatkan pengalaman baru karena bisa berinteraksi langsung dengan teman difabel. Ia merasa semakin dekat setelah belajar menggunakan bahasa isyarat.
“Senang sekali. Walaupun menggunakan bahasa isyarat, lama-lama saya paham dan mengerti, sehingga bisa bercerita tentang aktivitas dan kehidupan mereka. Awalnya kita pakai komunikasi tulisan, tapi sekarang lebih lancar,” tutur Rizky di sela-sela kesibukannya melayani pengunjung.
Baik Ica maupun Rizky mengaku bangga bisa menjadi bagian dari lingkungan kerja yang inklusif. Menurut mereka, program magang ini merupakan inisiatif positif yang patut dicontoh, terlebih Warung Sangu Alun-alun Tasik dimiliki oleh pengusaha kuliner ternama, Pak H. Heru Jollyjoy, yang mendukung keberadaan pekerja difabel.
Program magang ini merupakan hasil kerja sama Paguyuban Disabilitas Tasikmalaya (Papeditas) dengan PD Aisyiyah Kota Tasikmalaya. Mereka menyiapkan program pelatihan kerja selama 30 hari, dengan pendampingan intensif terutama pada awal pelaksanaan.
“Magang ini katanya binaan Papeditas dan PD Aisyiyah. Pendamping hampir setiap hari datang untuk memfasilitasi, apalagi di awal-awal magang,” tambah Ica.
Ica berharap kolaborasi ini diharapkan mampu membuka ruang kerja inklusif bagi penyandang disabilitas di Kota Tasikmalaya, sekaligus menjadi bentuk nyata implementasi konsep “Kota Inklusi” yang belakangan mulai digaungkan oleh berbagai komunitas dan pemerhati sosial.
Dukungan juga datang dari kalangan akademisi. Putriani, mahasiswi Semester 5 Manajemen Bisnis Fakultas Ekonomi Universitas Siliwangi (Unsil) sekaligus anggota komunitas Amaratma, menilai kegiatan magang ini sangat penting bagi penyandang disabilitas.
Warung Sangu Alun-alun Tasik, Jalan Otto Iskandardinana, foto diambil Sabtu (13/9/2025) (FOTO: Harniwan Obech/TIMES Indonesia)
Menurutnya, difabel sering kali masih menjadi kelompok minoritas yang membutuhkan perhatian khusus, baik dari masyarakat maupun pemerintah.
“Mereka memiliki hak yang sama selaku warga negara. Tak sedikit dari penyandang disabilitas yang bisa berprestasi. Nah, dengan kegiatan ini dapat membangun motivasi bagi kaum difabel sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat Kota Tasikmalaya,” jelas Putriani.
Ia menambahkan, tanggung jawab pemerintah daerah adalah memastikan semua pihak mendapatkan akses yang setara, termasuk dunia kerja. “Selain itu, menjadi kewajiban pemerintah menjadikan Tasikmalaya sebagai Kota Inklusi,” tegasnya.
Warung Sangu Alun-alun Tasik sendiri dikenal sebagai rumah makan khas Sunda yang ramai dikunjungi wisatawan maupun warga lokal. Menu andalannya berupa nasi timbel, ayam goreng, ikan bakar, lalapan, hingga sambal khas Sunda yang selalu menggugah selera. Lokasinya yang strategis di pusat kota membuat rumah makan ini menjadi pilihan utama keluarga maupun rombongan wisatawan yang berkunjung ke Alun-alun Kota Tasikmalaya.
Kini, dengan adanya program magang untuk penyandang disabilitas, Warung Sangu Alun-alun Tasik tidak hanya dikenal sebagai destinasi kuliner, tetapi juga sebagai ruang pembelajaran dan pemberdayaan sosial.
Langkah ini sejalan dengan upaya pemerintah pusat maupun daerah yang mendorong terciptanya lingkungan inklusif di berbagai sektor, termasuk pendidikan, sosial, hingga ekonomi.
Kehadiran Aisyah dan rekan difabel lainnya di Warung Sangu Alun-alun Tasik menurut Putri bukan hanya sekadar praktik kerja lapangan.
"Lebih dari itu, ini adalah wujud nyata dari semangat inklusivitas, persamaan hak, dan penghargaan terhadap keberagaman," tandasnya
Lebih jauh Putri mengungkapkan Kota Tasikmalaya dengan sejarah panjangnya sebagai kota santri dan budaya, kini juga memiliki kesempatan untuk dikenal sebagai Kota Inklusi.
"Jadi program magang yang diinisiasi Papeditas dan PD Aisyiyah ini menjadi bukti bahwa dengan kemauan bersama, masyarakat dapat membuka jalan bagi kaum difabel untuk berdaya dan mandiri,"pungkasnya. (*)
Pewarta | : Harniwan Obech |
Editor | : Faizal R Arief |