TIMES JABAR, BANJAR – Proses persidangan dugaan korupsi tunjangan perumahan dan transportasi anggota DPRD Kota Banjar kembali memantik perdebatan hukum.
Kasus yang menjerat mantan Ketua DPRD Dadang R. Kalayubi dan Sekretaris Dewan (Sekwan) Rachmawati ini diuji di tengah arahan Presiden Prabowo Subianto dan Jaksa Agung ST Burhanuddin tentang penegakan hukum yang berintegritas.
Presiden Prabowo, dalam sebuah kesempatan, menekankan pentingnya nurani dalam bekerja. "Jangan cari perkara apalagi terhadap orang kecil. Orang kecil, orang lemah itu hidupnya sudah sangat lemah, jangan diperberat oleh mencari-cari hal yang tidak perlu dicari," ujar Prabowo.
Arahan itu sejalan dengan pernyataan Jaksa Agung yang akan menindak jaksa di daerah yang dianggap gagal mengungkap kasus korupsi di wilayahnya.
Pertarungan Asas Hukum di Persidangan
Di ruang pengadilan, persidangan di Pengadilan Tipikor Bandung menyoroti perbedaan pendapat mendasar. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Kota Banjar mengedepankan asas fiksi hukum, asumsi bahwa setiap pejabat dianggap mengetahui semua peraturan, termasuk ketentuan pajak PPh 21.
Namun, bantahan datang dari saksi ahli Dr. Somawijaya, S.H., M.H. Ia menegaskan bahwa asas fiksi hukum tidak dapat menggugurkan unsur mendasar dalam hukum pidana: mens rea atau niat jahat. “Tidak. Jika tidak ada mens rea atau kelalaian, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Unsur niat dan kesengajaan adalah syarat mutlak dalam hukum pidana," tegas Somawijaya pada Selasa (21/10/2025).
Somawijaya berargumen bahwa Rachmawati sebagai Sekwan bertindak berdasarkan peraturan yang sah. “Jika peraturan yang dijalankan adalah hukum positif yang berlaku, maka perbuatan itu tidak melawan hukum. Pelaksanaan peraturan sah tidak dapat dijadikan dasar pidana,” jelasnya.
Ia mengakui adanya dampak negatif secara keuangan daerah, tetapi menekankan bahwa kerugian administratif harus diselesaikan melalui mekanisme administratif, bukan langsung dipidanakan. “Menjadikan masalah administratif langsung sebagai pidana adalah pendekatan yang keliru,” imbuhnya.
Kasus ini menjadi ujian nyata bagi konsistensi penegakan hukum di daerah, mengukur sejauh mana instruksi pimpinan nasional diterjemahkan dalam proses hukum yang fair dan substantif. Sidang akan dilanjutkan dengan mendengar keterangan dari kedua terdakwa. (*)
Pewarta | : Sussie |
Editor | : Faizal R Arief |