TIMES JABAR, TASIKMALAYA – Peluh menetes pelan dari dahi seorang lelaki berbatik putih berlogo Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Langkahnya tergesa saat turun dari sepeda motor tua, lalu bergegas memasuki halaman sebuah Sekolah Luar Biasa (SLB) di kawasan Kampung Argasari, Kecamatan Cihideung, Kota Tasikmalaya.
Pria itu adalah Dedi Supriatna (58), sosok guru sederhana yang telah mengabdikan lebih dari 30 tahun hidupnya untuk mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus di SLB Yayasan Insan Sejahtera.
Ia bukan ASN. Ia bukan pula guru bersertifikasi. Namun ketulusannya telah lama melampaui sekadar profesi.
Pada peringatan Hari Guru Nasional, 25 November 2025, kerja sunyinya akhirnya mendapat sorotan. Di apel akbar Hari Guru Nasional, Dedi menerima penghargaan sebagai guru sukwan berdedikasi tinggi, penghargaan yang menurutnya “terasa hangat, meski datang terlambat”.
Dedi mulai mengajar pada tahun 1995. Saat itu, ia hanya berbekal pendidikan Diploma 2 (D2). Kecintaannya pada dunia pendidikan anak disabilitas membawanya melanjutkan pendidikan ke SGPLB (Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa) selama dua tahun.
Dedi Supriatna Guru Sukwan SLB Insan Sejahtera Tasikmalaya saat membonceng Ijul, siswanya menuju rumah, Selasa (25/11/2025) (Foto: Harniwan Obech/TIMES Indonesia)
SGPLB merupakan program pendidikan khusus yang dirancang untuk mencetak guru yang memahami karakteristik anak Tunanetra, Tunarungu, Tunagrahita, Autisme serta anak dengan gangguan perilaku khusus.
Ia lulus dengan semangat besar, namun jalan untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) tetap tertutup. Persyaratan administratif dan kondisi ekonomi keluarga membuatnya tak mampu melanjutkan kuliah untuk meraih gelar sarjana.
“Waktu itu jadi dilema, saya harus pilih salah satu, Lanjut kuliah atau anak-anak saya sekolah dan akhirnya saya pilih untuk anak-anak,” tutur Dedi lirih.
Sebagai guru sukarelawan (sukwan), Dedi sempat menerima honor hanya Rp50 ribu per bulan, dan itupun sering dibayarkan secara dicicil.
Ada masa-masa di mana honor tersebut baru diterima setelah menunggu berhari-hari. Untuk menutup kebutuhan hidup keluarga, Dedi kerap menjadi ojek setelah jam sekolah.
Meski kini honor yang diterimanya telah lebih layak, sekitar Rp2 juta per bulan, prinsip hidupnya tetap sama.
“Yang penting anak-anak bisa belajar dan tenang. Soal gaji kecil ya saya jalani saja,” ujar Dedi saat ditemui TIMES Indonesia, Selasa (25/11/2025).
Selama puluhan tahun mengajar, Dedi tidak hanya menjadi guru di dalam kelas. Ia juga menjadi driver antar-jemput murid, sebagai pengasuh, pelindung dan menjadi sahabat bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
Ia mengantar dan menjemput beberapa murid autisme tanpa pernah meminta bayaran sedikit pun. “Saya tidak pernah terima uang bensin dari sekolah. Itu mah ikhlas saja, demi anak-anak datang ke sekolah dengan aman,” katanya.
Dedi mengajar sekitar 10 murid, sebagian besar anak dengan spektrum autisme. Menurutnya, metode konvensional tidak selalu efektif untuk mereka.
Alih-alih bertumpu pada buku, Dedi memilih mengganti teori dengan pengalaman langsung, mengganti ceramah dengan interaksi sosial dan engajak murid mengenal dunia nyata.
Dedi kepada TIMES Indonesia bercerita suatu waktu, ia membawa murid-muridnya mengunjungi stasiun kereta dan terminal bus, satu per satu, dengan cara dibonceng menggunakan sepeda motornya. Tujuannya sederhana agar mereka mengenal kehidupan sosial dan lingkungan publik.
Sementara itu Kepala SLB Insan Sejahtera H. Tata Tajudin mengungkapkan pengabdian Dedi melampaui batas ruang kelas. Menurutnya pernah ada seorang anak autisme dengan perilaku agresif tidak bisa disentuh siapa pun sehingga tak satu pun orang bisa mendekatinya.
Namun anak itu justru tenang bersama Dedi. Hingga akhirnya, untuk beberapa waktu, anak tersebut tinggal di rumah Dedi.
“Beberapa anak itu tak bisa disentuh siapa pun selain Pak Dedi. Diantar-jemput oleh beliau, bahkan ada yang diasuh langsung di rumahnya,”pungkas Tata Tajudin. (*)
| Pewarta | : Harniwan Obech |
| Editor | : Bambang H Irwanto |