TIMES JABAR, BANJAR – Keluarga almarhum R (17) siswa SMAN 2 Kota Banjar yang nekad akhiri hidup di Sungai Citanduy datangi Polres Banjar untuk menuntut keadilan.
Cahyani Titi Suranti, orangtua R, berharap dengan langkah hukum yang ditempuhnya dapat menguak misteri kematian R, anak bungsunya yang baru duduk di bangku SMA kelas 11.
"Semalam sebelum R mengakhiri hidupnya, dia meminta saya memenjarakan A, pembimbingnya di kegiatan ekskul karena merasa terintimidasi bahkan mengaku hampir dilecehkan," ungkapnya kepada sejumlah awak media yang meliput, Senin (7/4/2025).
Kronologi kematian R, dikuak sang Ibu bermula saat malam sebelum R meninggal. Putra kesayangannya itu mengaku baru saja selesai mengantar A ke Mie Gacoan.
"Anak saya itu mengurung diri di kamar. Dan saat saya coba dekati, dia sedang menangis sehingga saya peluk dia. Di situ R bercerita tentang intimidasi yang dilakukan A yang katanya suka menyuruh-nyuruhnya dan meminta saya untuk memenjarakan si A tersebut," katanya.
Berbekal curhatan R, Cahyani kemudian mencari keadilan atas kematian R yang menurutnya diakibatkan tekanan yang dilakukan terlapor berinisial A.
Keluarga R menggandeng LBH Benteng Perjuangan Rakyat (BPR) Bekasi melaporkan A atas dugaan kekerasan psikis dan bullying yang dilakukan terhadap almarhum.
Wahyuni, SH, selaku ketua divisi perlindungan anak pada LBH BPR menyebut bahwa kliennya mencari keadilan putra tercintanya tersebut agar tidak ada korban-korban lainnya yang berjatuhan.
"Laporan kami sudah diterima bagian Unit PPA Satreskrim Polres Banjar," ungkapnya.
Wahyuni menjabarkan bahwa kliennya juga ingin meluruskan kesimpangsiuran informasi yang beredar di media sosial terkait motivasi R mengakhiri hidupnya.
"Yang berkembang liar adalah R mengakhiri hidupnya karena gak dibelikan motorlah, ayahnya selingkuhlah, itu semua gak bener.." tegasnya.
Kliennya ingin mengungkap kebenaran terkait motivasi sang anak mengakhiri hidup sehari setelah bertemu A yang disebut sebagai pembimbingnya di kegiatan Wanoja Jajaka Budaya Jawa Barat yang diikuti R.
"R diduga mengalami depresi berat setelah bertemu A sehingga akhirnya ia memilih mengakhiri hidupnya dengan cara menenggelamkan diri di Sungai Citanduy," jelasnya.
Wahyuni menegaskan sesuai pasal 1 no 15 tentang kekerasan terhadap anak itu tidak hanya fisik tapi juga bisa berupa psikis dan seksual.
"Larangan kekerasan terhadap anak tersebut sudah diatur dalam UU no 35 tahun 2014 pasal 76c yang mana sanksi hukumannya diatur di pasal 80 dimana disebutkan untuk kekerasan psikis dan seksual itu ancaman hukumannya pidana penjara maksimal 3 tahun 6 bulan dengan denda maksimal Rp72 juta," paparnya.
Ancaman hukuman, lanjut Wahyuni, akan lebih berat lagi jika korban mengalami luka berat atau bahkan menimbulkan kematian.
"Apakah kasus ini nantinya akan berkembang ke pelecehan seksual atau tidak nantinya kami serahkan kepada penyidik kepolisian," katanya.
Ditambahkan Direktur LBH BPR, Andi Muhammad Yusuf, pihaknya menilai kekerasan psikis yang dialami R mengakibatkan kematian sehingga keluarga korban menuntut keadilan atasnya.
"Apabila nanti ditemukan adanya pelecehan seksual terhadap korban, maka pelakunya akan dikenakan pasal berlapis. Kami sudah mengumpulkan keterangan dari kesaksian keluarga dan teman-teman sekelas korban yang pernah dicurhati almarhum atas izin pihak sekolah. Dari data tersebut kami menilai sudah memenuhi unsur," tegasnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Kematian Siswa SMAN 2 Banjar: Keluarga Gandeng LBH Laporkan Kekerasan Psikis dan Bully
Pewarta | : Sussie |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |