TIMES JABAR, YOGYAKARTA – Suasana mencekam dan pilu menyelimuti film Petaka Gunung Gede, sebuah film horor yang diangkat dari kisah nyata. Film ini tidak hanya menghadirkan teror makhluk gaib, tetapi juga mengisahkan persahabatan dan perjuangan di tengah ganasnya alam.
Disutradarai oleh Azhar Kinoi Lubis dan diproduksi oleh Star Vision, Petaka Gunung Gede mengangkat peristiwa tragis yang terjadi pada tahun 2007. Film ini mengikuti perjalanan Ita dan Maya, dua sahabat sejak kecil, yang memutuskan untuk mendaki Gunung Gede bersama kakak Maya, Indra, dan keempat temannya.
Pada awalnya, perjalanan mereka berlangsung lancar. Namun, perlahan kondisi Ita mulai menurun, terutama karena ia sedang mengalami haid. Indra dan teman-temannya menyarankan Ita untuk kembali turun, tetapi dengan tekad bulat, ia tetap ingin mencapai puncak. Keputusan itu menjadi awal dari teror yang mengerikan.
Sepanjang perjalanan, Ita kerap mengalami gangguan mistis. Wajahnya pucat, suaranya berubah, dan tubuhnya kerap bergerak di luar kendali. Teman-temannya menganggap semua itu sebagai akibat dari pantangan pendakian saat haid. Namun, ada sesuatu yang jauh lebih gelap dan mengerikan di balik kejadian itu—sesuatu yang perlahan menyeret Ita ke dalam jurang maut. Setelah berhasil mencapai puncak, Ita justru mengalami kejadian misterius yang membuatnya kehilangan nyawa.
Endy Arfian, pemeran karakter Ale, menyebut film ini bukan sekadar horor dengan kejutan menakutkan semata, tetapi juga memiliki drama kuat yang menyentuh emosi penonton.
"Kami berusaha membuat horor yang lebih dari sekadar jump scare. Film ini membawa pesan moral, tentang persahabatan, tentang bagaimana pendakian harus dilakukan dengan bijak. Banyak nilai yang bisa diambil dari film ini," ujar Endy, Sabtu (8/2/2025).
Adzana Ashel, pemeran Ita, juga merasakan beban tersendiri dalam memerankan karakter Ita yang diambil dari sosok nyata yang sudah tiada.
"Sulit mendalami karakter Ita karena Teh Ita sudah almarhum. Saya harus memahami bagaimana sosoknya dari orang-orang yang mengenalnya, terutama dari Teh Maya yang menjadi pemilik kisah ini," kata Ashel.
Proses syuting berlangsung selama dua bulan, termasuk tujuh hari pengambilan gambar langsung di Gunung Gede. Para pemeran mengalami berbagai tantangan, mulai dari fisik hingga kejadian mistis yang tak terduga.
"Di hari pertama syuting, ada kejadian aneh seperti resleting tenda yang naik-turun sendiri. Awalnya kami pikir hanya angin, tapi makin lama makin terasa janggal," ungkap salah satu pemeran.
Bagi Arla Ailani, pemeran Maya, tantangan terbesarnya bukan hanya menghadapi medan berat, tetapi juga menjaga mental dan stamina saat syuting di ketinggian.
"Ini pengalaman pertama saya naik gunung, jadi cukup berat. Untungnya, ada anggota cast lain yang lebih berpengalaman dan tim porter yang membantu selama pendakian," kata Arla.
Selain menghadirkan ketegangan dan rasa takut, Petaka Gunung Gede juga membawa pesan moral tentang pentingnya menghormati aturan pendakian dan menjaga keseimbangan dengan alam.
"Karena ini kisah nyata, harapan kami dengan banyaknya penonton, semakin banyak pula doa baik untuk almarhumah Ita agar ia tenang di sana," pungkas Arla.
Film ini bukan sekadar tontonan horor, tetapi juga pengingat bahwa alam memiliki kekuatannya sendiri—dan tidak semua orang yang naik ke puncak akan kembali dengan selamat. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Petaka Gunung Gede: Kisah Nyata Pendakian yang Berujung Maut
Pewarta | : Edy Setyawan |
Editor | : Faizal R Arief |