TIMES JABAR, JAKARTA – Setelah reshuffle kabinet, publik dikejutkan oleh langkah Menteri Keuangan baru yang berencana mengucurkan dana “idle” senilai 200 triliun rupiah dari Bank Indonesia ke bank-bank Himbara. Dana raksasa itu bukan muncul begitu saja, melainkan bersumber dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) dan Saldo Anggaran Lebih (SAL). Dua istilah yang sering muncul dalam laporan keuangan negara, tetapi asing di telinga masyarakat awam.
Di permukaan, dana sisa itu tampak seperti kabar baik tabungan negara yang bisa dimanfaatkan kapan saja. Namun, bila ditelisik lebih dalam, SiLPA bukan sekadar angka indah di laporan tahunan. Ia bisa menjadi cermin ketidakberesan dalam manajemen keuangan negara, sekaligus wajah buram dari perencanaan yang tak berjalan sesuai rencana.
SiLPA pada dasarnya adalah selisih lebih antara pendapatan dan belanja negara dalam satu tahun anggaran. Sementara SAL merupakan akumulasi dari SiLPA tahun-tahun sebelumnya yang disimpan layaknya tabungan rumah tangga untuk berjaga-jaga. Dengan SAL, pemerintah punya bantalan fiskal agar tak selalu bergantung pada utang ketika menghadapi defisit.
Jika dikelola dengan bijak, SiLPA dan SAL bisa menjadi penyelamat. Bayangkan sebuah keluarga yang menabung setiap bulan untuk menghadapi kondisi darurat itulah peran dana sisa negara.
Namun, berbeda dengan rumah tangga, “tabungan negara” bukan semata hasil kedisiplinan, melainkan juga bisa lahir dari lemahnya eksekusi. Di sinilah problematika muncul: apakah uang sisa itu lahir karena keberhasilan, atau justru kegagalan?
Dari Prestasi hingga Anomali SiLPA
Setiap akhir tahun, pemerintah selalu memamerkan angka SiLPA. Kadang dianggap sebagai bukti keberhasilan, padahal wajahnya tak selalu sesederhana itu. Ada empat kondisi yang melahirkan SiLPA, masing-masing dengan makna berbeda.
Pertama, SiLPA yang lahir karena pendapatan melebihi target. Inilah wajah yang bisa disebut “berkah”, sebab negara punya ruang fiskal lebih luas.
Kedua, SiLPA yang muncul karena efisiensi belanja kadang disengaja untuk menahan inflasi atau dialihkan ke sektor lebih prioritas. Dua kondisi ini memang bisa dianggap positif.
Ketiga, SiLPA akibat lambatnya penyerapan anggaran. Program pembangunan tertunda, proyek infrastruktur mangkrak, pelayanan publik tersendat.
Uang memang tersisa, tetapi rakyat kehilangan haknya. Apa gunanya miliaran rupiah tersimpan rapi bila sekolah tak jadi dibangun, puskesmas tak diperluas, atau jalan desa tetap berlubang?
Keempat, SiLPA juga bisa muncul dari sisi pembiayaan. Misalnya ketika pemerintah menarik utang lebih besar dari kebutuhan riil. Situasi ini ironis, sebab pinjaman bukan hadiah. Ia datang bersama bunga yang harus ditebus generasi mendatang. Maka, SiLPA jenis ini bukan tabungan, melainkan beban yang ditunda.
Masyarakat kerap terkecoh melihat angka besar di pos SiLPA, seolah negara sedang “berlebihan uang”. Padahal, di balik itu bisa tersembunyi kelalaian. Ketika pemerintah gagal merealisasikan belanja tepat waktu, rakyatlah yang menanggung akibatnya. Anak sekolah tetap belajar di ruang kelas reyot, pasien tetap antre panjang di rumah sakit, petani tetap menunggu irigasi yang tak kunjung dibangun.
Inilah paradoks SiLPA: ketika besarannya dipuji sebagai keberhasilan fiskal, sesungguhnya ia bisa jadi tanda bahwa negara abai pada tugas utamanya melayani rakyat. Anggaran yang tak terserap adalah janji pembangunan yang tertunda. Ia ibarat hujan yang ditahan di langit, padahal sawah di bawah sedang merekah menunggu air.
SiLPA sejatinya bisa menjadi instrumen fiskal yang bermanfaat, asal dikelola dengan transparan dan penuh akuntabilitas. Pemerintah mesti jujur kepada publik: apakah dana sisa itu benar lahir dari kinerja positif, atau justru dari kegagalan eksekusi? Di sinilah peran audit, pengawasan, dan partisipasi publik menjadi penting.
Lebih dari sekadar menabung, negara harus menjadikan SiLPA sebagai cermin evaluasi. Jika sisa anggaran terlalu besar, berarti ada masalah dalam perencanaan. Jika berasal dari utang berlebih, berarti manajemen pembiayaan patut dipertanyakan. Transparansi dalam hal ini bukan pilihan, melainkan kewajiban. Sebab uang negara sejatinya adalah uang rakyat.
SiLPA adalah paradoks fiskal. Ia bisa jadi tabungan, bisa pula jadi noda. Ia bisa mengurangi ketergantungan pada utang, namun bisa pula menandai kegagalan perencanaan.
Ia bisa menenangkan pasar dengan memberi sinyal cadangan likuiditas, tetapi juga bisa membuat rakyat bertanya: ke mana perginya janji pembangunan?
Masyarakat perlu kritis membaca laporan keuangan negara. Jangan mudah puas dengan angka sisa besar yang dipoles sebagai prestasi. Sebab di balik tabungan itu, bisa jadi ada wajah buram pelayanan publik yang tak kunjung membaik.
SiLPA memang bukan sekadar angka di laporan. Ia adalah refleksi seberapa serius negara menepati janji pada rakyatnya. Dan di situlah, ukuran sejati keberhasilan fiskal sesungguhnya: bukan pada berapa banyak yang tersisa, tetapi pada seberapa nyata manfaat yang dirasakan rakyat dari setiap rupiah yang dibelanjakan.
***
*) Oleh : Imam Hidayat, Kepala Subbagian Umum Kemenkeu.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |