https://jabar.times.co.id/
Kopi TIMES

Mengenal Gadamer dan Kajian Pemahaman Teks Menurut Pandangannya

Senin, 15 Mei 2023 - 16:21
Mengenal Gadamer dan Kajian Pemahaman Teks Menurut Pandangannya Abdur Rahmad, Alumni Pesantren Nurul Jadid dan Unuja

TIMES JABAR, MADURA – Hans Georg Gadamer merupakan filsuf yang berkebangsaan Jerman yang terkenal dengan karyanya yang abadi Truth And Methode.

Anak dari seorang professor sains ini dilahirkan pada 11 Februari 1900 dan wafat di Heidellberg tanggal 13 Februari 2002. Gadamer keturunan dari keluarga Protestan, tidak terlalu agamis.

Saat itu, ilmu (wissenschaft) dan kultur (budaya) terkadang menyenangkan dan terkadang bertentangan. Ayahnya juga mencoba memperkenalkan Gadamer dengan sains yang ia yakini penting daripada sekadar ilmu sosial. Di sisi lain, sejak kecil Gadamer sendiri sudah tertarik dengan humaniora, khususnya sastra. 

Hans-Georg Gadamer belajar filsafat dengan Nikolai Hartman dan Martin Heidegger. Ketertarikan Gadamer pada filsafat menyebabkan kesuksesan Gadamer tidak hanya sebagai seorang filsuf tetapi juga sebagai hermeneut yang terkenal. Gadamer menerima penghargaan pada usia 102 tahun, dan aktif terlibat dengan pengembangan sains dalam spesialisasi filsafat, dengan budaya Jerman sebagai motivasinya. Keseluruhan proses tersebut terjadi tahun 1914 hingga tahun 1989.

Gadamer kemudian juga memperkenalkan tulisannya tentang tanggapannya terhadap tulisan Aristoteles yang meliputi fisika, polotik, sofistik, dan platonik. Gadamer tentu saja sangat Heideggerian, tetapi tidak seperti Heidegger yang terkenal dengan Nazi dan aktivitas politik mereka. Gadamer tidak pernah sekalipun memihak Nazi, tidak pernah ikut serta dalam kegiatan politik selama kepemiminan Reich III, serta tidak mengikuti partai politik manapun. 

Pada tahun 1937, Gadamer dianugerahi penghargaan terbaik dari universitas sebagai profesor. Dan setelahnya Gadamer menempati posisi sebagai pimpinan Universitas Leipzig Jerman serta tetap tidak pernah bersentuhan dengan Nazi. Dirinya menemukan Heidegger dan menjalin hubungan intelektual di Jerman. 

Konstruksi pemikiran Gadamer

Di dalam dunia filsafat, jika mendengar nama Gadamer maka orientasi kita tertuju pada bidang ilmu yang disebut hermeneutika.

Berbicara mengenai hermeneutika, seorang filosof Jerman ini telah menggagas filsafat hermeneutika dalam kerangka postmodern, Truth and Method. Sebenarnya cukup banyak karya-karya yang berhasil ditorehkan, tetapi, Truth and Method adalah magnum opus yang berhasil mengangkat namanya menjadi seorang filosof hermeneutika modern ternama.

Dalam Truth and Method yang diterbitkan tahun 1960, Gadamer membagi pokok bahasannya menjadi tiga bagian, yakni seni, sejarah (atau dapat juga dimaksudkan ilmu-ilmu kemanusiaan), dan bahasa. Seni yang dibahas oleh Gadamer dapat dibagi menjadi dua pokok.

Pertama, dalam kata pengantar edisi kedua Gadamer menekankan bahwa yang dimaksud seni adalah bukan seni memahami sebagai keterampilan atau metode untuk memahami sebagaimana yang dimaksud oleh para pendiri hermeneutik sebelumnya. Kedua, pemahaman Gadamer tentang seni bukan sesuatu yang dapat didekati dengan akal budi atau lebih tepatnya pada ilmu-ilmu pengetahuan yang cenderung mencari objektivitas, melainkan lebih bersifat subjektivitas. 

Bagian kedua yang diulas dalam Truth and Method adalah sejarah. Sejarah yang dimaksud bukan sejarah peristiwa masa lampau atau kejadian-kejadian yang telah berlalu, melainkan sejarah dipahami sebagai “kontekstualisasi sejarah”. Hal ini dapat dilihat dalam pemikirannya tentang sejarah pengaruh, peleburan cakrawala (horizon). Pemulihan prasangka dan otoritas serta tradisi.

Terakhir, dalam karya Truth and Method, Gadamer mengulas mengenai bahasa. Bahasa dimengerti tidak hanya sebagai “alat” tetapi lebih pada ranah ontologi. Pembahasan mengenai “bahasa” tidak diperdalam di dalam tulisan ini. Tulisan ini akan menggali dan mencoba untuk menjernikan bagian kedua Truth and Method dapat dimunculkan pada pembaca. Tetapi demikian, hal itu bukan berarti bahwa bagian ketiga bukan merupakan salah satu unsur atau aspek yang menopang bagian-bagian sebelumnya. 

Seperti yang telah diulas sebelumnya bahwa “seni” dalam pengertian Gadamer berbeda dengan Schleimacher. Hermeneutik Schleimacher menekankan pada “seni” dan Hermeneutic Dilthey menekankan pada “metode”. Sekalipun Dilthey mencoba untuk “menyingkirkan” positivisme dalam disiplin suatu ilmu, Gadamer membuktikan kedua tokoh tersebut masih terbelenggu pada ruang lingkup positivsm itu sendiri. Dengan demikian, Gadamer mengeluarkan tesisnya bahwa memahami merupakan kemampuan universal manusia. Itulah mengapa hermeneutik Gadamer disebut juga dengan Hermeneutik Filosofis. 

Gadamer mengikuti alur pikir Heidegger yang berpandangan bahwa manusia (Dasein) merupakan makhluk memahami. Artinya, memahmi merupakan situasi dan kondisi yang paling fundamental dari eksistensi manusia. Untuk menjelaskan konsep Gadamer terkait hermeneutik filosofisnya, dalam bagian ini secara sederhana aan mengulas pokok pemikirannya secara sistematis seperti bildung, sejarah pengaruh prasangka dan otoritas serta tradisi, Fusi Horizon, dan Aplikasi. 

Untuk memulai bagaimana pemikiran Gadamer tentang “memahami” secara sistematis, maka konsep bildung dapat mengawalinya. Gadamer menyatakan, istilah bildung yakni hal yang batiniah, yakni jalan nalar kita sendiri yang berhubungan antara sains terkait semua upaya sosial dan intelektual ke dalam sensibilitas (kemampuan merasakan) dan karakter. Mulanya bildung itu merupakan ‘berbagai sejarah’ yang pada langkah perolehannya memciptakan personal diri sebagai yang ideal. 

Gadamer menegaskan bahwa kesadaran sejarah dan sejarah pengaruh memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Ketika seorang peneliti sejarah menjalankan penelitiannya, ia seolah-olah berada “di luar” sejarah tersebut. Ia dan sejarah yang ditelitinya memiliki jarak, sehingga kesempatan untuk mencapai objektifitas menjadi mungkin. Akan tetapi, menurut Gadamer, tidak mungkin seorang peneliti sejarah mendapatkan hasil yang objektif, meskipun peneliti sejarah tersebut memiliki jarak antara objek sejarah yang ditelitinya, ia tetap juga selalu berada di bawah pengaruh situasi sejarahnya (zamannya) sendiri. 

Teori pemahamam Gadamer

Gadamer menegaskan dalam teorinya, bahwa membaca dan memahami sebuah teks pada hakikatnya yakni melakukan dialog dengan teks itu sendiri. Dari aktivitas dialog itulah kemudian dapat tercipta adanya sebuah sintesis dalam entitas teks, atau dengan kata lain, penulis teks (author) dan pembaca (interpreter) meleburkan horizon antar suatu dengan yang lainnya.

Karena itulah, horizon penulis dan horizon pembaca harus menjadi bahan pertimbangan dalam setiap pemahaman atau pemaknaan sebah teks, oleh karena setiap masing-masing (author dan pembaca) memiliki karakteristik yang berbeda dengan pertimbangan yang berkesinambungan. 
Lalu bagaimana agar sebuah penafsiran (interpretasi) bisa mendapatkan pemahaman yang maksimal? Sehubungan dengan hal itu, Gadamer mengajukan beberapa teori yang bisa kita simak, diantaranya sebagai berikut ini. 

Pertama, sebelum memberi putusan atau kesimpulan terhadap suatu pemaknaan yang harus diperhatikan adalah “prasangka hermeneutik”, yakni, pada aktivitas mencermati teks harus dilaksanakan dengan kritis serta teliti. Karena teks yang tidak dicermati serta diintegrasikan dapat merusak pengetahuan pembaca. Namun hal tersebut memiliki beberapa kesulitan karena minim untuk bisa menghadirkan identitas dari teks tersebut.  

Selanjutnya, “lingkaran hermeneutik” dan “bisa hermeneutika” Gadamer tampaknya hanya langkah pertama agar dapat mengetahui teks dengan cermat. Dia sebenarnya ingin menitik beratkan pada perlunya “pemahaman”. Baginya, pemahaman adalah proses siklus. Untuk mencapai pemahaman, seseorang harus memulai dengan pemahaman pula. Misalnya, untuk memahami teks, kita harus mempunyai peahaman awal terkait teks (pra pemahaman). Semisal tidak demikian, maka mustahil rasanya kita bisa memahami teks secara komprehensif. Namun di sisi lain, dengan membaca teks, pemahaman awal menjadi nyata. Proses Gadamer ini disebut “siklus hermeneutika”. Namun, jika kita membaca teksnya, kita tidak dapat menyimpulkan bahwa akan muncul lingkaran.

Lingkaran ini sebenarnya ada pada tingkatan paling dasar. Lingkaran ini menandai keberadaan manusia. Hanya dengan mengetahui lingkungan serta personal diri terlebih dahulu, lalu untuk menyadari keberadaan kita sendiri, kita dapat “memahami” dunia. “Bias hermeneutika” serta “lingkaran hermeneutika” yang disebutkan Gadamer sebelumnya berarti anggapan jika, seorang penafsir tidak berangkat dengan pemikiran kosong ketika hendak menafsirkan atau memahami sebuah teks. Dia membawa serangkaian preset ke dalam teks. 

Ketiga, term “aku dan engkau” melebur jadi “kami”. Gadamer berpemikiran bahwa peleburan subjek dialektika akan menunjukkan hasil yang mumpuni jika keseluruhan subjek melebur menjadi satu. Tahapan empat, “hermeneutika dialektis”. Gadamer meyakinkan bahwa pemahaman dan sejarah saling terhubung, karena itu akan adas kemungkinan untuk melahirkan pemahaman yang lebih bagus. Hermeneutika disini melepaskan fakta akan pengandaian, namun memahami pengandaian tersebut untuk bisa sampai pada pemahaman sebenarnya.

Gadamer menyuguhkan dua macam pemahaman, yaitu memahami isi kebenaran dan memahami niat. Memahami isi maksudnya adalah memaknai keseluruhan yang terkandung dalam isi teks. Memahami maksud artinya adalah memaknai keadaan di sebalik teks itu sendiri. Dua aspek tersebut menjadi fokus Gadamer sebagai pemahaman atas realitas historis. Hermeneutika sejarah diperoleh dari pembenaran sejarah yang mengharuskan subjek (penafsir teks) untuk menyadari analisis (interpretasi teks) dari studi pengalaman sejarah yang berkait-kaitan dengan teks itu sendiri. Memahamai teks berarti memaknai sejarah mempergunakan analogi ruang waktu. Sejarah ialah objek yang bergerak secara terus menerus yang menyebabkan subjek harus belajar untuk menentukan objektivitas teks. 

Proposisi prasangka historis menyimpang dari pemahaman Heidegger tentang visualisasi dan imajinasi pemikiran. Gadamer menyebut karya tersebut sebagai bias subjektif. Objek pengalaman analisis memiliki peluang untuk membiasakan sejarah teks. Karya hermeneutika adaah karya dialog, sehingga sejarah harus membentuk objek yang dinamis melalui bias subjektif. Bias subjektif adalah masalah awal sebagai objek dari proses pemahaman. 

Ada tiga dimensi waktu yang dijelaskan oleh Gadamer, yaitu masa dahulu, masa sekarang, dan masa mendatang. Di masa lalu, di mana teks lahir dan diterbitkan, sejatinya teks yang sudah terlempar ke publik bukan lagi milik penulis, tetapi milik semua orang. selanjutnya teks itu telah mengandung seperangkat penafsir yang penuh dengan prasangka dan mengarah pada dialog masa dulu, membuat interpretasi hadir dalam konteks penafsir, masa mendantang memiliki komposisi akan kebaruan serta produktivitas yang diperoleh secara dialektis dari subjek dan objek hermeneutik. Terkandung tiga alasan melaksanakan proses dialogis, pertama, menjauhi pemahaman mistik tentang kebenaran dan dialektika merupakan syarat utama menemukan titik tengah atas multitafsir teks. 

Dialektika tidak dapat dilepaskan dari fungsi bahasa. Bahasa menurut Gadamer ialah manusia secara personal maupun kelompok dengan ekosistem sosialnya. Peranan bahasa ialah membangun subjek serta teks dalam aspek tingkah laku. Generalisasi Gramatik pada hakikatnya hanya hadir dalam dialektika. Generalisasi tersebut membebaskan bahasa dari yang sekedar diucapkan, melainkan juga termasuk dalam suara batin dari teks itu sendiri.  

Gadamer berpendapat bahwa hermeneutika memiliki ciri khas historis, mengikuti manusianya yang juga historis. Hermeneutika meletakkan keterhubungan yang kompleks antara penafsir dengan teks dalam lingkup historis. Hermeneutika tidak sekedar menghadirkan ulang pemaknaan yang ada namun merupakan satu bentuk peninjauan ulang apa yang dipahami dengan mengedepankan aspek gramatik.

Gadamer percaya dengan keterpengaruhan pemahaman dengan sejarah. Sejarah memiliki manusia, karena manusia lahir secara menyejarah, pemikirannya dan perjalanan dirinya hidup dalam satu sejarah tertentu. Kesadaran manusia akan sejarah yang melingkupi pemikiran manusia menciptakan kesadaran pemahaman. Kesadaran dalam bentuk ini disebut juga sebagai kesadaran estetis. Kesadaran estetis dihasilkan dari makna pengamalan atas prilaku manusia yang berpadu dengan perspektif itu sendiri. 

Dialektika Spekulatif

Menurut Gadamer terdapat satu cara untuk memperoleh pertanyaan yang benar melalui penyatuan dengan dasar problem (subjek) daam aktivitas berdialog atau bersoal-jawab. Pembicara tidak dimaksudkan untuk dibahas, tetapi dimaksudkan unuk menguji kesesuaian kegiatan tanya jawab subyek dengan pertanyaan utama.

Dialog hermeneutik yang dipelajari dimaksudkan sebagai upaya menghubungkan (terjemahan) yang dipadukan dengan sosial teks itu sendiri. Pasangan berdialektika ialah teks tersebut. Tantangan hermeneutika adalah membebaskan teks akan sekat-sekat yang mengelilinginya. Di sana, teks berada dalam konteks modern dan dialog yang hidup. 

Terdapat empat faktor yang termasuk dalam metode yang melingkupi dialektika, yaitu bildung yang berkedudukan sebagai pemahaman dalam aspek proses. Lalu sensus communis atau yang disebut dengan pertimbangan praktis. Selanjutnya yaitu pertimbangan, yang memuat tentang kerja yang akan dilakukan dan harus dilakukan, serta terakhir selera, yaitu faktor yang memuat subjektivisme penafsir. 

Fusion of Horizon

Pengalaman memposisikan pelaku dalam suasana terbuka. Keterbukaan itu melepaskan sesuatu untuk diucapkan. Keterbukaan adalah karakter mau menyimak (mendengar), mau ditentukan karakternya oleh sesamanya, serta cenderung tanpa ingin mengungguli lingkup pengetahuan yang bertolak ukur pada situasi, kesadaran berbentuk keterhubungan terkait historisitas teks yang tidak dapat seluruhnya bisa general. Karena kesadaran pemahaman terletak pada posisi kewaspadaan serta kejelasan masingmasing individu, pengalaman sifatnya bertentangan dengan perilaku diri. Kesadaran untuk memahami secara utuh segala sesuatu yang ada berkaitan didalamnya. 

Sejarah hanya dapat dipahami dari perspektif sejarah itu sendiri. Penafsir hanya dapat meletakkan dirinya diantara horizon sejarah sehingga mampu membaca sosial historis yang melingkupi sejarah tersebut. Namun, penafsir tetap perlu untuk bisa mengetahui serta memahami horizon waktu atas teks, horizon pembaca, serta horizon dari penulis teks itu sendiri. Namun Gadamer menitikberatkan horizon teks serta horizon penafsir sebagai sudut pandang utama yang harus dikedepankan dalam hermeneutika.

***

*) Oleh: Abdur Rahmad, Alumni Pesantren Nurul Jadid dan Unuja.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Faizal R Arief
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jabar just now

Welcome to TIMES Jabar

TIMES Jabar is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.