TIMES JABAR, BANDUNG – Aktivitas menulis merupakan kegiatan untuk menuangkan ide dan pemikiran ke dalam bentuk tulisan yang bertujuan untuk disampaikan kepada orang lain.
Menulis di kalangan para intelektual adalah hal yang mutlak, karena ketokohan seseorang ditentukan melalui karya tulisnya. Dari opini ini juga, bahwa menulis jauh lebih bermanfaat dari pada menyampaikan pemikiran melalui lisan atau budaya orasi. Karena dengan tulisan, pemikiran dan idenya masih bisa terbaca walaupun penulisnya sudah tiada. Inilah yang disebut oleh Gus Dhofier “Menulis untuk keabadian”.
Pondok Pesantren adalah lembaga yang sejak dari dulu menjaga khazanah dan budaya akademik, termasuk dalam memproduksi karya tulis. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya para pengarang (mushonif) kitab-kitab kuning yang lahir dan dibesarkan di dunia pesantren. Termasuk para ulama Nusantara yang berkontribusi besar dalam pengembangan berbagai disiplin ilmu keislaman memalui karya tulisnya. Dan sampai dengan detik ini, karya tulisnya masih di kaji di berbagai lembaga pondok pesantren di Indonesia, bahkan diakui dan menjadi rujukan utama oleh ulama Timur Tengah dan Jazirah Arab.
Kuatnya tradisi akademik di dunia pesantren tidak terlepas dari doktrin tradisi menulis di dunia Islam itu sendiri. Bahwa wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril kepada Nabi besar Muhammad SAW adalah perintah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan (membaca lalu menulis).
Hal itu diperkuat dengan perkembangan berikutnya yang menuliskan ayat-ayat Al-qur’an karena banyaknya penghapal Al-qur’an yang menjadi syuhada, baru setelah itu berkembang penulisan hadits. Bahkan Al-qur’an sendiri memerintahkan untuk menulis, khususnya dalam masalah akad hutang-pihutang. Doktrin ini ditambah dengan Sabda Nabi Muhamad SAW yaitu “ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Maka dari doktrin inilah, bahwa menulis adalah bagian dari kegiatan beribadah kepada Allah SWT dengan niat yang ikhlas untuk menyebarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Pada masa puncak kejayaan Islam, yaitu masa Dinasti Abbasiyyah khususnya pada kepemimpinan Harun Ar-Rasyid dan Al-Ma’mun menjadi puncak tradisi akademik di dunia Islam dengan banyaknya tokoh cendekiawan dan intelektual Islam yang lahir beserta karya tulisnya. Tradisi akademik ini sampai ke ufuk timur dunia yaitu kawasan Asia Tenggara khususnya Indonesia. Para ulama Indonesia yang banyak berguru ke pusat dunia Islam lalu mulai menulis dalam berbagai disiplin ilmu keislaman yang dibutuhkan seperti kajian ilmu tauhid, fiqh, tasawuf, ilmu kalam, bahasa dan lain sebagainya.
Ulama Indonesia yang produktif menulis pada abad ke-19 diantaranya Syekh Nurudin al-Raniri, Syekh Abdur Rauf al-Singkili, Syamsuddin al-Sumaterani, Muhammad Yusuf al-Makasari. Lalu pada generasi selanjutnya ada sejumlah nama diantaranya Muhammad Aryad al-Banjari, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabaui.
Lalu, memasuki abad ke-20 ulama Indonesia yang banyak menulis diantaranya Syekh Nawawi al-Bantani, Mahfudz al-Tirmisi, Syekh Kholil Bangkalan, KH Raden Asnawi (Kudus), KH Hasyim Asy’ari (Pendiri NU), Syekh Saleh Darat. Tradisi ilmiah ini kemudian diikuti oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Quraish Shihab, Nurcholish Madjid (Cak Nur), Ahmad Syafii Maarif, Azyumardi Azra dan lain sebagainya. Faktor utama yang mendukung dalam tradisi menulis ini adalah kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan keinginan untuk menyebarluaskannya.
Maka, pondok pesantren hari ini harus mampu mentransmisi ulang dan menghidupakan kembali tradisi tulis-menulis dan budaya akademik sebagai lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu keislaman. Pondok pesantren saat ini dituntut untuk mengkaji berbagai hal yang kekiniaan dilihat dari perspektif Islam seperti masalah gender, fiqh perempuan, HAM dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, pesantren harus betul-betul dijadikan sebagai pusat kajian karena tantangan zaman yang semakin kompleks, lalu pesantren akan mampu mengelola dan menjaga intelektualitasnya yang bisa disumbangkan untuk memecahkan berbagai problem yang terjadi ditengah-tengah masyarakat dan hal ini sangat relevan dengan semangat zaman.
Kelemahan generasi muslim saat ini, khususnya santri di dunia pesantren masih lemah dalam budaya akademik dan tradisi tulis-menulis. Hal ini bisa dibuktikan dengan belum banyaknya lembaga pondok pesantren yang belum mempunyai komitmen dan concen terhadap pengembangan akademik dan tradisi tulis-menulis terebut sebagai penguatan dakwah Islam. Oleh karena itu, pondok pesantren dituntut untuk mengambil langkah strategis untuk meningkatkan budaya literasi (membaca-menulis), budaya akademik melalui berbagai penelitian dan menuliskannya sebagai karya yang bisa diwariskan.
Sosok santri hari ini yang perlu dijadikan tauladan dalam dunia tulis-menulis salah satunya adalah KH Mustafa Bisri atau akrab disapa Gus Mus yang juga merupakan pimpinan pondok pesantren Raudhatul Talibin (Rembang). Secara tidak langsung Gus Mus ingin menyampaikan bahwa menulis sama pentingnya dengan mengaji, menulis dan mengaji adalah sama-sama aktivitas ibadah.
Langkah Gus Mus tersebut telah menghidupakan kembali tradisi menulis di dunia pesantren. Senada dengan spirit Gus Mus tersebut, ada ungkapan Imam Syafi’i yaitu; “Ilmu pengetahuan adalah binatang buruan dan tulisan adalah tali pengikatnya, maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat”.
***
*) Oleh: Andri Nurjaman, M. Hum. (Pendidik & Akademisi)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Faizal R Arief |