https://jabar.times.co.id/
Berita

Johan Rosihan Proyeksikan Tekanan Ganda Lingkungan dan Pangan pada 2026

Rabu, 31 Desember 2025 - 15:01
Johan Rosihan Proyeksikan Tekanan Ganda Lingkungan dan Pangan pada 2026 Anggota Komisi IV DPR RI sekaligus Sekretaris Fraksi PKS MPR RI, Johan Rosihan

TIMES JABAR, JAKARTA – Anggota Komisi IV DPR RI sekaligus Sekretaris Fraksi PKS MPR RI, Johan Rosihan, memproyeksikan Indonesia akan menghadapi tekanan serius pada sektor lingkungan dan pangan menjelang 2026. Tekanan tersebut dinilai tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga berpotensi berkembang menjadi krisis sosial dan ekonomi apabila tidak ditangani secara komprehensif.

Dalam keterangan tertulis yang disampaikan di Jakarta, Rabu (31/12/2025), Johan menegaskan bahwa persoalan pangan tidak bisa dilepaskan dari kondisi lingkungan. Ia mengingatkan bahwa kearifan lokal masyarakat Nusantara sejak lama telah mengajarkan keterkaitan erat antara kelestarian alam dan keberlanjutan pangan.

Ia mencontohkan pepatah masyarakat Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang menyiratkan bahwa terjaganya hutan dan hulu daerah aliran sungai akan menjamin keberlimpahan hasil pertanian dan ternak. Menurut Johan, pesan tersebut bukan sekadar nilai budaya, melainkan cerminan hukum ekologis yang bersifat universal.

“Pangan tidak pernah tumbuh dari ekosistem yang rusak. Ketika lingkungan terdegradasi, ancaman terhadap pangan menjadi keniscayaan,” ujarnya.

Johan menilai, rangkaian bencana ekologis yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa daya dukung lingkungan Indonesia berada dalam kondisi rapuh. Banjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan kian sering terjadi dan berdampak langsung pada sektor pertanian serta distribusi pangan.

Ia menyinggung kondisi di sejumlah wilayah Sumatera, di mana banjir dan longsor berulang merusak lahan pertanian dan mengganggu jalur distribusi. Di Sumatera Barat, kerusakan daerah aliran sungai memperlihatkan lemahnya tata kelola lingkungan, sementara di Aceh bencana hidrometeorologi kembali menegaskan bahwa kekayaan sumber daya alam tidak otomatis menjamin ketahanan pangan.

“Jika bencana ekologis terjadi secara serempak di berbagai wilayah, krisis pangan tidak lagi bersifat lokal, tetapi berpotensi menjadi persoalan nasional,” kata Johan.

Risiko serupa juga membayangi wilayah lain. Di Jawa, tekanan datang dari alih fungsi lahan, kepadatan penduduk, dan berkurangnya daerah resapan air. Di Kalimantan, deforestasi dan kebakaran lahan mengancam keberlanjutan pertanian dan perikanan. Sementara di Papua, pembangunan yang tidak sensitif terhadap ekosistem dinilai berisiko merusak salah satu benteng ekologis terakhir Indonesia.

Bali dan kawasan Nusa Tenggara pun menghadapi tantangan yang tidak kalah serius. Tekanan pariwisata, kekeringan berkepanjangan, serta kerusakan daerah aliran sungai membuat wilayah ini rentan terhadap krisis pangan dan air, padahal selama ini menjadi penyangga penting bagi wilayah sekitarnya.

Johan juga mengkritisi pemahaman ketahanan pangan yang selama ini kerap disederhanakan sebagai persoalan ketersediaan stok nasional. Di tingkat lapangan, petani dan nelayan justru menghadapi tingginya biaya produksi, ketidakpastian iklim, serta fluktuasi harga yang merugikan.

“Kenaikan harga pangan tidak selalu menguntungkan petani, sementara masyarakat berpenghasilan rendah justru menjadi kelompok paling terdampak,” ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa ketergantungan pada impor pangan sebagai solusi jangka pendek berisiko melemahkan kedaulatan nasional, terlebih di tengah ketidakpastian geopolitik global.

Dalam aspek kelembagaan, Johan menekankan pentingnya sinergi lintas kementerian, terutama setelah pemisahan urusan kehutanan dan lingkungan hidup. Menurutnya, hutan harus dipandang sebagai infrastruktur ekologis strategis yang menopang pangan dan kehidupan, bukan semata komoditas ekonomi.

Ia juga mendorong perubahan paradigma dalam kebijakan pertanian. Produktivitas, kata Johan, tidak bisa dilepaskan dari kesehatan ekosistem. Pertanian masa depan harus menjadi bagian dari strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Mengacu pada amanat Pasal 33 UUD 1945, Johan menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya alam ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Karena itu, kegagalan menjaga lingkungan hingga memicu krisis pangan dinilainya bukan sekadar persoalan teknis, melainkan kegagalan konstitusional.

Menutup pernyataannya, Johan menegaskan kembali relevansi pesan kearifan lokal bagi masa depan bangsa.

“Menjaga hulu berarti menjaga kehidupan. Jika agenda lingkungan dan pangan disatukan dalam kebijakan nasional, tekanan ganda ini bisa diubah menjadi peluang. Jika tidak, rakyat yang akan menanggung akibatnya,” ucapnya. (*)

Pewarta : Rochmat Shobirin
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jabar just now

Welcome to TIMES Jabar

TIMES Jabar is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.